Beranda | Artikel
Al-Wafa (Membalas Jasa)
1 hari lalu

Al-Wafa (Membalas Jasa) adalah kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Ariful Bahri, M.A. Hafidzahullah pada Ahad, 21 Jumadil Akhir 1446 H / 23 Desember 2024 M.

Kajian Tentang Al-Wafa

Sebelum membahas lebih jauh tentang al-wafa, mari kita mengenang perjalanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika tiba di Kota Madinah. Penduduk kota tersebut, yang dahulu dikenal dengan nama Yatsrib. Kota itu penuh dengan wabah penyakit, permusuhan, pertikaian, hingga pertumpahan darah. Puncaknya adalah peperangan besar yang dikenal sebagai Perang Bu’ats.

Perang Bu’ats merupakan konflik dahsyat yang menewaskan sebagian besar pemimpin Yatsrib. Hanya satu orang yang tersisa sebagai pemimpin, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, keadaan berubah. Kepemimpinan yang semula tampak akan dipegang oleh Abdullah bin Ubay bin Salul beralih kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hal ini menjadi awal dari permusuhan Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dia merasa posisinya terancam dan akhirnya menjadi “musuh dalam selimut.” Abdullah bin Ubay bin Salul tidak mau beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan dia membuat perkara yang baru, yaitu kemunafikan.

Dalam masyarakat Arab saat itu, hanya ada dua pilihan sikap: menjadi muslim yang beriman atau menjadi kafir yang menolak ajaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang Arab memiliki sifat tegas, yaitu berkata jujur dan apa adanya. Itulah sebabnya istilah “munafik” tidak dikenal dalam budaya Arab sebelum kedatangan Islam.

Agar kita memahami mengapa Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tengah bangsa Arab, tentu ada hikmah atau kelebihan tertentu yang dimiliki bangsa tersebut. Salah satunya adalah kejujuran mereka dalam berkata. Jika berkata “iya,” maka itu benar-benar iya. Jika berkata “tidak,” maka itu benar-benar tidak.

Contohnya, ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdakwah di Makkah, yang mendukung beliau adalah kawan, sedangkan yang menentang adalah musuh. Namun, saat Nabi hijrah ke Madinah, muncul kelompok ketiga yang disebut munafik. Sifat nifaq ini tidak ditemukan di Makkah. Ia bermula dari Abdullah bin Ubay bin Salul.

Abdullah bin Ubay adalah tokoh utama kaum munafik. Ia berpura-pura masuk Islam, shalat lima waktu bersama Nabi, mengucapkan syahadat, berperang, dan berjihad bersama kaum Muslimin, tetapi di balik itu ia merencanakan makar terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Puncak kejahatannya adalah ketika ia menuduh Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu, melakukan perbuatan zina. Tuduhan ini begitu berat hingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak dapat berpikir jernih selama satu bulan. Namun, Allah membebaskan Aisyah dari tuduhan itu melalui wahyu yang termaktub dalam Surah An-Nur.

Keunikan dari kisah ini adalah perilaku anak Abdullah bin Ubay, yakni Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia adalah seorang sahabat Nabi yang mulia. Dia pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Kalau seandainya engkau mau Ya Rasulullah, aku akan datang kepadamu dengan mambawa kepalanya.”

Sekejam-kejamnya orang Yahudi, lebih kejam Abdullah bin Ubay kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Tapi anehnya, ketika ayahnya wafat pada tahun ke-9 Hijriah, Abdullah mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meminta baju milik Nabi untuk dijadikan kafan untuk ayahnya. Meski Abdullah bin Ubay adalah tokoh munafik yang sangat kejam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap memenuhi permintaan anaknya.

Biasanya, jika ada orang jahat yang meninggal, apa yang kita ucapkan? Jangan ucapkan alhamdulillah. Bagaimanapun, selama dia seorang muslim, kita berharap agar Allah memberikan ampunan kepadanya. Sejahat apa pun dia, selama dia beriman, sedzalimi apa pun perbuatannya, kita tetap melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.

Contohnya adalah Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika anak Abdullah bin Ubay meminta baju Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk dijadikan kain kafan ayahnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikannya. Memang, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang nabi yang diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala sesuatu yang melekat pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penuh keberkahan—jasadnya, pakaiannya, bahkan sisa air minumnya. Namun, keberkahan ini tidak dapat dibandingkan atau diqiyaskan dengan manusia lainnya.

Sebagai contoh, rambut Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah berkah. Begitu pula sisa air minum Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ; jika kita meminum sisa air tersebut, itu menjadi berkah, tetapi sisa air minum kita biasa saja, bahkan mungkin penuh kuman.

Keberkahan ini adalah salah satu keistimewaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , termasuk pakaiannya. Selain itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki sifat yang sangat mulia, yaitu beliau tidak pernah menolak orang yang meminta.

Makanya di dalam Al-Qur’an, sifat dermawan disebutkan dalam beberapa tingkatan:

  1. Al-‘Aṭa’ (العطاء): Orang yang memberi ketika diminta, sesuai dengan yang diminta.
  2. Al-Karam (الكرم): Orang yang memberi sebelum diminta, bahkan memberikan lebih dari yang diminta.
  3. Al-Jud (الجود): Orang yang peka terhadap kebutuhan orang lain tanpa diminta. Misalnya, melihat tetangga tidak memasak karena tidak ada asap dari dapurnya, lalu menawarkan makanan.
  4. Al-Itsar (الإيثار): Tingkatan tertinggi dari kedermawanan, yaitu orang yang sendiri dalam kesulitan namun tetap berbagi dengan orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut sifat al-itsar dalam firman-Nya:

…وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ…

“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)

Inilah sifat Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnyaRadhiyallahu ‘Anhu. Meskipun dalam keadaan membutuhkan, mereka tetap berbagi, menunjukkan kedermawanan yang sesungguhnya.

Puncak kedermawanan disebut dengan al-itsar. Orang yang dermawan diuji justru ketika mereka tidak memiliki apa-apa. Itulah sifat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Beliau tidak memiliki banyak pakaian, makanan, atau peralatan rumah tangga. Namun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menolak orang yang meminta sesuatu darinya.

Banyak orang meminta sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam , seperti rambut, perlengkapan, bahkan keringat beliau. Sebagaimana telah disebutkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah pribadi yang diberkahi, dan keberkahan ini tidak pernah disamakan dengan manusia lain. Keberkahan ini adalah sesuatu yang khusus bagi Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak dapat diqiyaskan kepada siapa pun.

Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul meninggal, anaknya datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meminta pakaian beliau untuk dijadikan kain kafan bagi ayahnya. Anaknya berkata, “Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku jubahmu, dan aku akan menjadikannya kain kafan untuk ayahku.”

Abdullah bin Ubay bin Salul adalah salah satu orang yang paling jahat terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menolak permintaan tersebut. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menanggalkan pakaiannya dan memberikannya untuk dijadikan kain kafan. Tidak hanya itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga ikut menshalatkan jenazahnya, meskipun beliau tahu bahwa Abdullah bin Ubay adalah tokoh munafik. Bahkan, Surah Al-Munafiqun turun berkaitan dengan tokoh tersebut.

Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menshalatkan Abdullah bin Ubay, Umar Radhiyallahu ‘Anhu menarik baju Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau akan menshalatkannya? Padahal dia adalah tokoh munafik!” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Wahai Umar, Allah memberikan kepadaku pilihan, sebagaimana dalam firman-Nya:

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ۚ…

“Kamu mohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka sebanyak tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 80)

Seolah-olah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa ayat ini memberikan pilihan kepada beliau. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun mengatakan, ‘Aku akan memohonkan ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali.’

Keputusan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini menunjukkan betapa mulianya akhlak beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengetahui bahwa Abdullah bin Ubay adalah penyebab utama kegaduhan di Madinah, pelaku propaganda terhadap kaum Yahudi, dan sumber masalah lainnya. Meski demikian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap memaafkan, memberikan bajunya dan bahkan mendoakannya.

Kita bertanya, mengapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan bajunya?

Al-Wafa’ (Membalas Jasa)

Sifat wafa’ merupakan sifat yang langka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَن صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ

“Siapapun (muslim atau nonmuslim) yang berbuat baik kepada kalian, maka balas kebaikan tersebut.” (HR. Abu Dawud)

Tahun ke-2 Hijriyah menjadi saksi sejarah, karena pada tahun ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemenangan, sehingga disebut Badar Al-Kubra. Disinilah awal cerita kenapa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan pakaian kepada Abdullah bin Ubay bin Salul.

Sebelum terjadi perang Badar, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan, “Kalau kalian bertemu Al-Abbas, maka jangan kalian bunuh dia.” Hal ini karena sebenarnya Al-Abbas sudah beriman, hanya saja dia menyembunyikannya. Dia datang ke perang Badar dalam keadaan terpaksa. Sehingga ketika kaum muslimin menang, Al-Abbas menjadi salah satu tawanan yang ada dalam perang Badar.

Singkat cerita, ketika itu, pakaian milik Al-Abbas, paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, robek. Ketika dicari pakaian pengganti, tidak ada satu pun yang pas karena Al-Abbas bertubuh besar. Satu-satunya pakaian yang cocok adalah milik Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang tokoh munafik yang pernah diceritakan sebelumnya.

Abdullah bin Ubay bin Salul memberikan pakaiannya kepada Al-Abbas. Maka ketika Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta pakaian beliau untuk mengafani ayahnya. Nabi pun memberikannya. Mengapa? Karena beliau mengingat kebaikan Abdullah yang pernah membantu Paman Nabi dengan memberikan pakaian dalam peristiwa Perang Badar.

Inilah yang disebut Al-Wafa (الوفاء)—yaitu membalas jasa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa siapa pun yang pernah berbuat baik kepada kita, sekecil apa pun, wajib kita balas kebaikannya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَن صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Siapapun yang berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya. Jika kalian tidak mampu membalasnya, doakanlah dia hingga kalian merasa telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Dawud)

Betapa banyak orang yang telah berbuat baik dalam kehidupan kita. Lalu, siapa yang paling berjasa dalam hidup ini? Tidak lain adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Cara kita membalasnya adalah dengan bertauhid dan bertakwa.

Kemudian, yang paling berjasa setelah Allah adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Cara membalas jasa beliau adalah dengan mempelajari agama yang beliau bawa dan mengamalkannya. Setelah itu, ada orang tua, keluarga, saudara, dan tetangga kita yang juga memiliki jasa besar dalam kehidupan kita. Semua ini tergolong dalam konsep al-wafa’, yaitu membalas kebaikan dengan kebaikan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan banyak teladan dalam hal ini. Salah satu kisah yang terkenal adalah tentang Utsman bin Thalhah, penjaga kunci Ka’bah. Ketika terjadi Fathu Makkah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Utsman:

“Wahai Utsman, kunci Ka’bah ini akan senantiasa engkau pegang, begitu pula anak dan cucumu. Tidak ada seorang pun yang mengambil kunci ini dari keluarga kalian kecuali dia adalah orang yang zalim.”

Hadiah ini luar biasa mulianya. Hingga hari kiamat, kunci Ka’bah berada di tangan keturunan Utsman bin Thalhah dari Bani Syaibah. Tidak ada seorang pun yang boleh membukanya kecuali mereka. Bahkan, ketika seseorang ingin memasuki Ka’bah, ia harus memanggil keturunan Utsman bin Thalhah untuk membuka pintunya.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Dengarkan dan Download Kajian Al-Wafa (Membalas Jasa)

Jangan lupa untuk turut menyebarkan kebaikan dengan membagikan link kajian “Al-Wafa (Membalas Jasa)” ini ke media sosial Antum. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan Antum semua.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54819-al-wafa-membalas-jasa/